Jakarta (ANTARA News) - Kehadiran anak dengan gangguan spektrum autistik seringkali menimbulkan krisis dalam keluarga secara terus-menerus, namun tidak berarti keluarga tersebut tak bisa keluar dari krisis tersebut, kata Psikolog dari UI Dr Adriana Soekandar Ginanjar.
"Krisis dalam keluarga dengan anak spektrum autistik biasanya jauh lebih berat daripada keluarga pada umumnya, namun banyak cara penanganan krisis ini sehingga mereka lebih bisa tegar dan bangkit, jadi tak perlu cemas," kata Koordinator Klinik Terpadu Fakultas Psikologi UI itu pada Expo Peduli autisme 2010 di Jakarta, Sabtu.
Gangguan spektrum autistik, urainya, merupakan bagian dari gangguan perkembangan anak yang ditandai terganggunya komunikasi, terganggunya sosialisasi dan adanya perilaku terbatas yang berulang, di mana si anak selain menarik diri juga sering menunjukkan perilaku agresif, hiperaktif, dan reaksi marah yang meluap.
Ia menguraikan, krisis yang biasanya dialami orangtua dengan gangguan spektrum autistik antara lain saat orangtua mendapat laporan diagnosis anak yang membuat mereka terkejut dan tidak percaya.
Gangguan kesehatan fisik yang biasanya berkaitan dengan gangguan spektrum autistik seperti epilepsi, alergi kronis, masalah pencernaan dan kelainan jantung, ujarnya, juga membuat orangtua stres karena anak tersebut berarti memerlukan tidak hanya perhatian lebih tetapi juga biaya lebih.
Beban orangtua, ujarnya, juga semakin berat bila kehadiran anak tidak diterima oleh kerabat, tetangga dan masyarakat sehingga membuat keluarga merasa malu dan menyembunyikan si anak, belum lagi jika si anak mengalami perlakuan tidak menyenangkan (bullying) dan diskriminasi di sekolah maupun di tempat umum.
"Ketika si anak semakin berkembang menjadi remaja kemudian muncullah masalah baru yang menuntut adaptasi. Tantangan dalam mengasuh anak ini bisa berdampak pada perkawinan dan menyebabkan perceraian," katanya.
Menurut dia, cara terbaik untuk bertahan dalam situasi sulit dan keluar dari krisis ini adalah dengan mengembangkan kerja sama dan saling mendukung dalam keluarga untuk melewati krisis dengan memandang masalah sebagai bagian dari kehidupan sambil melihat sisi positif sebagai pelajaran.
Ketika menghadapi stres, lanjut dia, perlu dikembangkan upaya untuk mengelola stres yang disebut sebagai strategi "coping" antara lain dengan cara membuat perencanaan untuk mencari solusi, mencari dukungan sosial dan emosional dari orang lain, mengontrol ekspresi emosi negatif, memandang masalah dari sudut positif dan mendekatkan diri kepada Tuhan.
Expo Peduli Autisme ini selain menggelar seminar penanganan anak-anak autis dengan memberi semangat dan membekali orangtua berbagai cara praktis dari para psikiater dan psikolog serta berbagi pengalaman orangtua, juga memamerkan sejumlah lukisan cat minyak karya anak-anak autis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar